*Bapaku yang baik*,
*Hari Rabu Abu ini, Engkau goreskan setitik abu di dahiku.*
Setitik abu di dahiku itu tiada bermakna jika tanpa ditopang dengan iman.
Tanpa iman, abu itu hanya seperti hiasan para badut yang tak lucu.
Dengan iman, setitik abu itu dahsyat, mampu membuka pikiran dan menyadarkan jiwa.
Pikiran dan mata jiwaku terbuka bahwa hidupku di dunia ini akan berakhir.
Siapkah kini aku menghadap kepadaMu jika Engkau memanggilku ?
Setitik abu itu membuatku rela untuk menyerahkan hatiku kepadaMu.
Biarlah Engkau membelahnya.
Mataku pun terbelalak karena tersingkap banyak dosaku.
Hatiku pilu karena malu.
Hatiku sedih karena telah melukai..
Aku pun mengakui segala dosa dan kesalahanku di hadapanMu.
Setitik abu di dahiku ini telah mengubah hidupku.
Hidupku menjadi berarti karena ada tangan-Mu yang siap mengampuni.
Pengampunan-Mu merupakan wujud dari kasih-Mu.
Kasih-Mu meresap di dalam hati.
Kasih-Mu memantapkan hati untuk lebih berhat-hati agar tidak jatuh lagi.
Lalu kata Yesus: “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang” (Yohanes 8:11).
_*Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC*_
NILAI DARI PUASA & MAKNA ABU
Nilai dari puasa bukan hanya menghindari makanan-makanan tertentu, tetapi juga berhenti dari perbuatan-perbuatan dosa. Seseorang yang membatasi puasanya hanya dengan berpantang daging adalah orang yang merendahkan nilai dari puasa itu sendiri.
Apakah kamu berpuasa? Buktikanlah dengan melakukan perbuatan-perbuatan baik. Jika kamu melihat orang yang membutuhkan, berbelaskasihlah kepada mereka. Jika kamu melihat temanmu dihormati, janganlah iri kepadanya. Karena puasa yang benar adalah kamu tidak hanya berpuasa dengan mulutmu. Kamu harus berpuasa dengan matamu, telingamu, kakimu, tanganmu, dan seluruh anggota tubuhmu.
Berpuasalah dengan tanganmu, dengan menjaganya bersih dari keserakahan. Berpuasalah dengan kakimu, dengan tidak pergi ke pertunjukan-pertunjukan atau drama-drama terlarang. Berpuasalah dengan matamu, dengan tidak membiarkannya melihat gambar-gambar yang tidak pantas. Karena jika ini dilanggar, maka ini dapat merusak puasamu dan mengancam keselamatan jiwamu. Tetapi jika kamu melihat hal-hal yang baik, maka kamu meningkatkan nilai puasamu, karena apa yang kamu lihat dengan matamu memengaruhi perilakumu. Adalah sangat bodoh, jika kamu tidak makan daging dan makanan-makanan lainnya karena berpuasa, tetapi memberi makan matamu dengan hal-hal yang terlarang.
Katamu, kamu tidak makan daging? Tetapi kamu membiarkan dirimu mendengarkan hal-hal yang cabul. Kamu juga harus berpuasa dengan telingamu. Cara lain berpuasa dengan telingamu adalah dengan tidak mendengarkan mereka yang berbicara jahat atau hal-hal yang tidak benar tentang orang lain. “Janganlah kamu menyebarkan kabar bohong.” Ini khususnya berlaku untuk rumor, gosip, dan ketidakbenaran yang diucapkan untuk merugikan orang lain.
Selain berpuasa dengan mulutmu, dengan tidak makan makanan tertentu, mulutmu juga harus berpuasa dari kata-kata yang kotor atau berkata bohong tentang orang lain. Apa gunanya jika kamu tidak makan daging atau unggas, tetapi kamu menggigit dan melahap sesamamu? - St. YOHANES KRISOSTOMUS
“Puasa adalah jiwa dari doa, rahmat adalah sumber hidup dari puasa.
Jadi jika engkau berdoa, berpuasalah; jika engkau berpuasa, tunjukkanlah belas kasih.
Jika engkau ingin permohonanmu didengar, dengarlah permohonan orang lain.
Jika engkau tidak menutup telingamu bagi orang lain, engkau membuka telinga Allah bagi dirimu sendiri.” — St. Petrus Krisologus
Abu dan Awu
Pengertian abu adalah sisa yang tertinggal setelah suatu barang mengalami pembakaran lengkap (KBBI). Abu dalam bahasa Jawa disebut dengan awu. Awu dapat berarti seperti pengertian di atas, namun juga dapat bermakna kualitas keberadaan seseorang dalam keluarga atau kekerabatan.
Abu dalam kehidupan Gereja menjadi tanda pertobatan. Pada perayaan Rabu Abu, umat ditandai dengan abu yang sudah disakralkan (diberkati dan diberi air suci) di dahinya dengan kata-kata "bertobatlah dan percayalah kepada Injil", atau "manusia berasal dari debu dan kembali menjadi debu".
Dari pengertian di atas, penulis mencoba merenungkan makna abu dalam perayaan Rabu Abu Gereja Katolik sebagai "pertobatan". Saat umat ditandai dengan abu didahinya, sisa-sisa perbuatan tidak baik (kesalahan dan dosa) dibersihkan dari raga kemanusiaan. Dengan demikian, diharapkan kita tidak hanya berhenti pada pengetahuan tentang perbuatan salah dan dosa, namun, sampai pada kesadaran untuk bertobat dan melakukan tindakan iman.
Persatuan abu dan air menjadi energi yang menyuburkan sehingga dapat menghidupi alam sekitar. Abu yang sudah diberkati dan dicampur air suci dan ditandakan pada kening umat bukan bukan hanya sebatas simbol, namun, karena kasih karunia Allah, kita dibersihkan dan dihidupi olehNya. Selain itu, kualitas kemanusiaan (awu) menjadi lebih karena kita sudah masuk di dalam "keluarga Allah" dan disebut sebagai anak-anak Allah. Dengan demikian, kita punya tanggung jawab untuk melakukan perbuatan iman sebagai anak-anak Allah dan membagikan rahmatNya agar dapat menyuburkan sekaligus menghidupi alam sekitar kita.
Dari permenungan di atas, kita diajak untuk tidak "mandeg" pada pemahaman tentang "Hati yang Terluka" (perbuatan salah dan dosa), namun, diharapkan dapat menjadi "Hati yang Terbuka", bertobat dan melakukan tindakan iman serta berbagi kasih rahmat Allah yang menyuburkan dan menghidupkan umat manusia beserta alam semesta. Tindakan iman kita menjadi kurban persembahan bagi Allah yang telah mengorbankan diriNya bagi kita.
Terima kasih, Vivat Cor Jesu.
Rm. Ant. Joko SCJ
https://www.facebook com/928738730471418/posts/5308090709202843/?sfnsn=wiwspwa
https://katolik.yahoonta.com/2021/02/bapaku-yang-baik.html